Boelongan, Sepenggal Perjalanan Masa Silam

Boelongan, Sepenggal Perjalanan Masa Silam
Seorang penyelam, Sabtu (29/12/2012), berupaya mendokumentasikan salah satu sisi bangkai kapal yang diduga kuat sebagai Boelongan pada kedalaman sekitar 20 meter di perairan Teluk Mandeh, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. | KOMPAS/INGKI RINALDI

Oleh Ingki Rinaldi
Rabu, 28 Januari 1942, lepas waktu dzuhur di Nagari Mandeh, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Anas Malin Randah yang ketika itu berusia remaja tengah bersantai di pondok perladangan di atas kawasan perbukitan.

Ayahnya masih menanam padi di ladang saat satu skuadron pesawat tempur Jepang seperti meraung-raung di atas kepalanya. ”Jumlahnya 12 pesawat,” kata Anas, yang kini berusia 83 tahun, pekan lalu. Tak lama berselang, bunyi bom bersahutan seperti hendak memecah gendang telinganya. Anas beserta tiga kakak dan seorang adiknya bergegas menuju ke goa batu untuk berlindung.

Anas masih mampu merekam jalannya serangan. Pesawat tempur Jepang itu membombardir kapal Belanda, yang diduga sebagai Boelongan. Serangan berlangsung sekitar tiga jam hingga sore menjelang. Delapan pesawat tempur baru menggantikan peran 12 pesawat sebelumnya. Serangan ditutup oleh enam pesawat berikutnya.

Kapal Boelongan tenggelam setelah dibom pada bagian haluan, buritan, dan persis di cerobong asapnya. Anas pun melihat sejumlah awak Boelongan yang meninggalkan kapal dengan sekoci.

”Orang Belanda itu kabur,” ujar Anas. Boelongan tenggelam dengan posisi mendatar. Seluruh badannya rusak parah.

Saat dibom, Boelongan pada posisi terbuka di Teluk Mandeh, yang jaraknya sekitar 200 meter dari daratan terdekat dan sekitar 70 kilometer dari Kota Padang. Kawasan ini merupakan salah satu rute pelayaran pantai barat Sumatera yang sangat ramai pada masa silam.

Anas ingat Boelongan berada di kawasan itu sejak sekitar sepekan sebelumnya. Boelongan mula-mula masuk dari pintu muara di Nagari Sungai Nyalo Mudik Aie yang bertetangga dengan Teluk Mandeh. Lalu, Boelongan berlindung di Teluk Dalam di antara Pulau Cubadak dan Pulau Taraju yang masih di kawasan perairan Mandeh.

Saat bersamaan, sekitar 350 km dari Teluk Mandeh, Jatar (87) tengah mengadu nasib di Aie Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar. Jatar yang juga berasal dari Nagari Mandeh memutuskan pulang setelah tahu pengeboman itu. Beberapa bulan kemudian, Jepang mencari pemuda di nagari itu. ”Sebagian dipekerjakan untuk membuat kapal di Nagari Sungai Pinang, Pesisir Selatan, dan sebagian dikirim ke Logas, Kabupaten Sijunjung, Sumbar,” paparnya.

Pengiriman ke Logas terkait kerja paksa membangun jaringan rel kereta api. Itu berhubungan dengan rencana pengangkutan batubara dari Ombilin, Sawahlunto ke Logas, sebelum dilanjutkan menuju Riau.

Ujung pelarian

Kisah Boelongan yang dimiliki Koninklijke Paketvaart-Maatschappij tak bisa dipisahkan dengan tenggelamnya kapal Van Imhoff II di sebelah barat Kepulauan Nias, Sumatera Utara, setelah dibom Jepang pada 19 Januari 1942. Kapal itu membawa 400 tawanan asal Jerman.

Horst H Geerken dalam buku berjudul A Magic Gecko: Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno (2011) menjelaskan, pada 20 Januari 1942, Boelongan terlihat di lokasi tenggelamnya Van Imhoff II. Namun, karena yang tersisa hanya sekoci berisi tawanan Jerman, Boelongan yang berada di bawah kendali Kapten ML Berveling putar haluan tanpa memberikan pertolongan.

Keputusan Berveling diduga terkait peta Perang Dunia II saat Jerman tergabung dalam poros kekuatan bersama Jepang dan Italia. Di sisi lain, Belanda ikut kubu Sekutu yang di antaranya digerakkan Inggris dan Amerika Serikat. Sebelumnya, Jerman memorakporandakan Rotterdam di Belanda dengan pengeboman pada Mei 1940.

Boelongan yang berperan sebagai pengiring Van Imhoff diduga kembali ke selatan menuju Padang untuk terus ke pesisir selatan mengarah ke Batavia atau Australia. Ini terbukti dari posisi kapal itu saat tenggelam.

Pada penyelaman yang dilakukan Kompas, pekan lalu di lokasi tenggelamnya Boelongan, haluan bangkai kapal terlihat pada sisi barat daya. Adapun buritannya terletak di arah timur laut yang mengindikasikan kapal itu sedang menuju selatan.

Dinding kabin anjungan tampak rebah ke atas dek di kedalaman sekitar 20 meter. Menurut Kepala Subseksi Pelayanan Teknis Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan Nia Naelul Hasanah, kesimpulan bangkai kapal itu adalah Boelongan didasarkan pada pengukuran detail.

Panjang kapal diketahui 74 meter dengan lebar bagian tengah 11 meter, lebar buritan 13 meter, lebar haluan 10 meter, dan tinggi 8 meter. Tinggi kapal terukur belum mewakili ukuran sesungguhnya karena sebagian badan kapal terbenam sedimen.

Hasil pengukuran itu serupa dengan data spesifikasi Boelongan dalam sejumlah referensi. Kapal lain yang tenggelam di alur itu dalam periode yang sama, Buijskes dan Elout, memiliki dimensi lebih besar. Selain sebagai kapal transpor, kata Nia, Boelongan juga kerap dipakai pejabat kolonial Belanda saat berkunjung ke Kesultanan Bulungan di Kalimantan Timur.

Periode kritis

Sejarawan dari Universitas Negeri Padang, Prof Dr Mestika Zed, mengatakan, tenggelamnya Boelongan dan invasi Jepang itu menandai periode kritis kekuasaan Belanda di Indonesia. Serangan cepat Jepang tak disangka-sangka Belanda.

Periode Desember 1941-Februari 1942 ditandai dengan serangan udara yang dilakukan Jepang secara bertubi-tubi. Menurut Mestika, gempuran pesawat dengan pola bunuh diri seperti yang dilakukan Jepang terhadap Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat Pearl Harbor, Hawaii, lazim dilakukan selama periode itu.

Hampir 71 tahun seusai Boelongan karam, warga di daerah sekitarnya cenderung tak beroleh manfaat. Padahal, dengan sejarah yang melingkupinya, kapal karam itu bisa menjadi obyek wisata dan obyek penelitian yang tak hanya bermanfaat bagi warga sekitar, tetapi juga bagi ilmu pengetahuan….

0 comments:

Post a Comment