Para Hacker Sabotase Situs Pemimpin Sejumlah Negara, Apa Motifnya?

Para Hacker Sabotase Situs Pemimpin Sejumlah Negara, Apa Motifnya?
Para Hacker Sabotase Situs Pemimpin Sejumlah Negara, Apa Motifnya?

Dari harga diri bangsa hingga sekedar iseng belaka.
Sejumlah negara kini direpotkan oleh aksi sabotase digital oleh para peretas, yang mengaku sebagai bagian dari kelompok "Anonymous." Mereka beraksi di tengah kemarahan internasional atas skandal penyadapan yang dilakukan intelijen Amerika Serikat bersama sekutu-sekutunya, seperti Australia, yang dibongkar oleh mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional AS (NSA), Edward Snowden.

Dalam beberapa hari terakhir muncul kasus sabotase atas laman-laman milik pejabat maupun lembaga pemerintah di sejumlah negara. Laman perdana menteri Singapura, Lee Hsien Loong, dan Istana Presiden Singapura awal November ini sempat disabotase.

Badan Layanan Intelijen Rahasia Australia (ASIS) pun tembus oleh aksi peretas selama beberapa saat. Dan yang terbaru, sistem komputer parlemen Inggris sempat dijahili oleh para peretas saat teman-teman mereka berdemonstrasi di luar, seperti diungkap The Register.
Motif sabotase para hacker pun macam-macam. Ada yang membawa sentimen nasionalisme saat menyabot situs badan intelijen Australia, ada pula yang sekadar iseng untuk menguji sistem keamanan saat meretas jaringan keamanan internet di Gedung Parlemen Inggris.  

Pihak berwenang di mancanegara biasanya menuding bahwa anonymous sebagai biang keladi setiap kali ada gangguan pada jaringan komputer maupun laman mereka. Hobi mengacak-acak laman milik pemerintah, lembaga besar, maupun perusahaan sejak 2004, kelompok ini sangat cair. Siapapun bisa menjadi simpatisan atau anggota, mulai dari pegawai kantoran hingga anak sekolah. Hanya bermodal komputer dan Internet, dan saling terhubung, anonymous merebak di mancanegara.

Singapura pun bergerak cepat setelah mengetahui laman perdana menterinya dikerjai hacker. Mereka langsung memburu peretas dengan memanfaatkan jasa warga yang paham dengan teknologi komputer. Stasiun berita Channel News Asia melansir, dari hasil investigasi yang dilakukan polisi, ditemukan petunjuk bahwa para peretas telah memanfaatkan kelemahan di situs yang berfungsi menampilkan halaman dari sumber lain.

Selain itu, polisi mengaku sudah mengantongi kelima nama tersangka pelaku aksi peretasan. Namun, mereka membantah aksi peretasan situs PM yang beralamat di www.pmo.gov.sg, terkait dengan aksi serupa terhadap situs Dewan Kota Ang Mo Kio atau aksi vandalisme di Gedung Dewan Kota tanggal 5 November lalu.

Tersangka terhadap aksi peretasan Dewan Kota telah ditahan dan didakwa di pengadilan. Pelaku diketahui bernama James Raj Arokiasamy, berusia 35 tahun. Pada saat melakukan aksinya, dia bersembunyi di balik identitas "The Messiah". Raj tertangkap di sebuah apartemen di Kuala Lumpur, Malaysia.

Polisi setempat juga memeriksa 15 orang lainnya. Mereka diduga terlibat dalam gerakan protes "sejuta topeng" oleh kelompok Anonymous untuk memperingati Hari Guy Fawkes pada 5 November lalu.

Fawkes merupakan seorang anggota militan yang gagal meledakkan gedung parlemen Inggris karena ketahuan polisi pada 5 November 1605. Topeng yang menyerupai wajah Fawkes digunakan oleh para anggota Anonymous sebagai simbol kelompok mereka.

Kini, tugas Pemerintah Singapura memburu dan membongkar kedok kelompok Anonymous internasional. Menurut Kementerian Dalam Negeri (MHA), mengganggu atau merusak sistem komunikasi informasi dan teknologi (ICT) dianggap ilegal dan melanggar konstitusi.

"Aksi seperti mengalihkan operasi layanan kritis, membahayakan dan mengakibatkan kerugian serius terhadap sistem keamanan, ekonomi dan sosial negara, dan warga Singapura, dianggap tindak kriminal. Kami akan menyelesaikan kasusnya sesuai dengan hukum yang berlaku," ujar Juru Bicara MHA.

Aksi peretasan terhadap situs PM Singapura terjadi pada Kamis, 7 November lalu sekitar pukul 23:17 waktu Singapura. Saat itu kelompok Anonymous mengganti tampilan sub halaman yang merujuk kepada sumber lainnya.

Dalam sebuah sub halaman, hacker mengganti tampilan lamannya dengan tajuk bernada menghina. Di laman itu terdapat gambar pria mengenakan topeng elang dan di samping kiri terpampang tulisan: "Hebat sekali menjadi warga Singapura saat ini".

Kendati diretas, namun situs PM masih tetap dapat diakses. Motif dari aksi tersebut diduga berkaitan dengan permintaan peninjauan kembali aturan baru pemerintah yang mewajibkan portal berita untuk mendapat izin.

Mengetahui hal ini, Lee lantas bersumpah akan memburu pelaku penyerangan dunia siber.

"Ini bukan sesuatu yang dapat ditertawakan. Hal ini juga bukan sesuatu yang akan berlalu begitu saja karena Anda tidak meninggalkan identitas. Kalian dapat berpikir identitas kalian tidak diketahui, tapi kami akan melakukan berbagai upaya untuk membongkar identitas kalian!", janji Lee.

Masalah Australia
Tidak hanya Singapura yang bermasalah dengan para penyabot di dunia maya. Australia pun demikian. Tekad para peretas asal Indonesia untuk terus menggempur beberapa situs pemerintahan Negeri Kanguru, bukan sekedar isapan jempol belaka. Salah satu yang berhasil dibuat kolaps yakni situs Badan Layanan Intelijen Rahasia Australia (ASIS) yang beralamat di asis.gov.au.

Harian Sydney Morning Herald (SMH), Senin 11 November 2013 melansir situs tersebut sudah tidak dapat diakses sejak beberapa hari lalu. Bahkan, ketika mereka mencoba mengaksesnya pada Senin sore kemarin, situs itu masih kolaps dan tidak menunjukkan tampilan apapun.

Peneliti dan Pendiri ICT Institut, Heru Sutadi, turut membenarkan adanya serangan itu.

Dihubungi VIVAnews melalui sambungan telepon, dia menyebut ada satu kelompok peretas yang menamakan diri Indonesian Security Down (ISD) Team diyakini sebagai otak di balik penyerangan situs milik intelijen Australia.

"Mereka mulai melakukan serangan tersebut pada hari Jumat malam pekan lalu. Serangan mulai dilakukan sekitar pukul 20.00 WIB dan berlangsung selama dua setengah jam. Saat itu juga situs ASIS kolaps dan down," ujar Heru. Serangan yang digunakan ISD Team, lanjut Heru, yakni Denial of Service (DOS).

"Artinya, sekelompok peretas yang terdiri 500 hingga seribu hacker secara bersama-sama menyerang satu situs yang sama. Mereka menyerang dengan paket-paket data secara bersamaan sehingga server situs yang bersangkutan kewalahan lalu down," kata Heru menjelaskan.

Serangan DOS, ujar Heru, berbeda dengan hanya mengganti tampilan sebuah situs. Tidak sampai di situ, target lain yang diserang para peretas Indonesia yakni situs Badan Layanan Intelijen Nasional Australia (ASIO), beralamat di asio.gov.au. Menurut Heru, serangan dilakukan pada hari Sabtu malam pekan lalu.

"Efek untuk situs ASIO sudah mulai terasa pada Selasa pagi ini," kata dia. Target ketiga yang diserang yakni situs Direktorat Sinyal Australia (ASD). Badan intelijen ini diyakini berada di balik aksi spionase Australia dengan membangun pos penyadapan di dalam gedung Kedutaan.

Kemudian VIVAnews mencoba mengecek ketiga situs badan intelijen Australia itu. Hasilnya satu situs ASIS yang hingga kini belum dapat diakses. Sementara untuk situs ASIO dan ASD, sudah dapat diakses oleh publik.

Heru mengakui situs ASIO dan ASD memang lebih sulit untuk diretas ketimbang ASIS. "Secara intelijen, kedua situs tadi memang lebih siap ketimbang ASIS," kata dia, seperti dikutip Sydney Morning Herald.

Penyerangan terhadap ketiga situs itu sesuai saran yang diberikan oleh kelompok Anonymous Australia. Dalam sebuah video di situs Cyber War News, Anonymous Australia meminta supaya para peretas asal Indonesia tak lagi menyasar situs non pemerintah seperti badan amal, pengusaha dan rumah sakit.

"Situs-situs bisnis yang tak terkait masalah ini, seharusnya tidak diserang. Kami meminta sebagai sesama saudara agar fokus kepada target utama Anda, Pemerintah dan Badan Intelijen. Jangan libatkan pihak lain masuk ke dalam masalah ini" tulis Anonymous Australia dalam video itu.

Mereka mengancam akan terjadi perang cyber, apabila imbauan itu tak juga dituruti. Mereka lantas menyarankan supaya para peretas Indonesia hanya menyasar situs-situs milik Pemerintah Australia saja.

"Karena adanya etika di antara sesama hacker dan juga menghormati kelompok Anonymous Australia, maka mereka mengikuti imbauan itu," kata Heru.

Namun Heru membantah adanya pemberitaan yang menyebut Anonymous Australia akan membantu aksi para peretas Indonesia. "Tidak ada bantuan apa pun. Hacker Indonesia melakukan aksi itu sendiri," Heru menegaskan.

Menurut dia, motif di balik aksi hacking ini murni karena geram terhadap sikap Pemerintah Australia yang mengganggu kedaulatan dengan menyadap komunikasi para pejabat Indonesia.

"Mereka juga kesal dengan sikap Pemerintahan kita yang cenderung lembek dalam menghadapi isu spionase ini. Oleh sebab itu mereka mengaku akan terus menyerang, kecuali ada permintaan maaf resmi dari Pemerintah Australia," ujar Heru.

Selain ISD Team, sumpah serupa juga diucap kelompok Indonesian Cyber Army dan Java Cyber Army. Heru menyebut pertimbangan memilih ketiga situs Badan Intelijen itu, bukan tanpa pemikiran. Sebelum menyerang, kelompok hacker Indonesia sudah memikirkan konsekuensi jika situs Badan Intelijen Indonesia akan diserang balik oleh hacker dari Australia.

"Namun, hingga sejauh ini sih belum ada konfirmasi adanya serangan balik dari pihak hacker atau badan intelijen Australia," tuturnya.

Mengapa Heru bisa mengetahui adanya kronologi penyerangan para peretas tersebut? Dia mengaku hanya memantau komunikasi kelompok-kelompok tersebut melalui Twitter. "Jadi saya tidak terlibat dalam aksi hacking tersebut. Ketemu orang-orang di balik kelompok itu juga belum pernah," ujar Heru.

Juru Bicara Kepolisian Federal Australia yang dihubungi SMH, mengaku peristiwa peretasan situs ASIS sama sekali tidak terkait dengan mereka. Sementara Departemen Luar Negeri dan Perdagangan yang memiliki kewenangan untuk mengawasi ASIS menolak berkomentar. Reaksi serupa juga disampaikan oleh Perwakilan Australia di Indonesia.

0 comments:

Post a Comment